Kasus TBC Anak di Kota Bogor Meningkat, ini Jumlahnya
KOTA BOGOR, oganilir.co - Anak-anak di Kota Bogor, Jawa Barat banyak terserang penyakit Tuberculosis (TBC). Bahkan jumlahnya mengalami peningkatan.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor mengeluarkan data pada pada tahun 2022 ada 1,465 kasus. Dibandingkan dengan tahun 2021 hanya 462 kasus. Berdasarkan statistik, Kota Bogor menempati peringkat kedua daerah di Jawa Barat dengan jumlah kasus TBC yang mencapai 3,904 kasus pada tahun 2022 dan 248 kasus kematian.
Anggota Komisi IV DPRD Kota Bogor, Sri Kusnaeni secara tegas mendorong Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor untuk melakukan percepatan eliminasi TBC yang sesuai dengan visi misi Kota Bogor sehat menuju Bogor Kota Ramah Keluarga. Dengan adanya Aksi Gerakan Eliminasi Tuberkulosis (Aksi Geulis) yang diinisasi oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, diharapkan bisa menjadi langkah awal Pemkot Bogor dalam menekan angka kasus TBC di Kota Bogor. “Kami dari DPRD Kota Bogor mendukung penuh Aksi Geulis ini. Karena sudah ada Rencana Aksi Daerah (RAD) melalui Perwali nomor 18 tahun 2023, semoga ini bukan hanya sekedar tertulis di dalam kertas tetapi kami berharap ini direalisasikan sebaik-baiknya,” ujar Sri.
Sri mengaku banyak menemui kasus penderita TBC yang jenuh atas proses penyembuhannya. Hal tersebut pun berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pengobatan pasien TBC di Kota Bogor yang pada 2022 hanya menyentuh 70 persen.
BACA JUGA:KLPI Menggelar Screening Kesehatan Lansia Di Ogan Ilir
Sehingga, upaya preventif yang dilakukan melalui Aksi Geulis, diharapkan bisa sejalan dengan upaya pengobatan, agar menurunkan angka penularan dan angka kematian karena TBC.
“Kalau saya melihat munculnya TBC ini ketika saya turun ke lapangan sering menemukan kasus kejenuhan pasien untuk minum obat. Nah ini perlu diberikan pendampingan untuk menjaga mental pasien untuk bersabar dalam proses pengobatan. Upaya pengobatan ini harus sejalan dengan upaya preventif,” ungkap Sri.
Sri menyampaikan bahwa persoalan kesehatan, ekonomi dan pendidikan dapat dikatakan sebagai lingkaran buruk yang harus diputus mata rantainya. Hal itu lantaran jika masyarakat mengalami persoalan pada kesehatannya, maka akan berdampak kepada terhambatnya pemenuhan perekonomiannya. Kemudian, jika persoalan perekonomian terganggu, maka akan berdampak kepada menurunnya partisipasi pada dunia pendidikan. Akhirnya dengan minimnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat, akan berdampak kepada rendahnya pengetahuan akan menjaga pola hidup bersih dan sehat.