Namun, belajar dari ‘perang’ perebutan kargo transhipment, tiga pelabuhan di Selat Malaka (PS, PTP dan Port Klang) masing-masing kini mengembangkan kawasan industri yang terintegrasi sebagai hinterland.
Tujuan mereka memperbesar porsi kargo gateway, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap kargo transhipment. Ini sekaligus menghindari persaingan perebutan kargo transhipment yang berdarah-darah.
Dengan ambisi kapasitas hingga 60 juta TEU, PSA memgembangkan terminal Tuas, mengajak CMA CGM dan membujuk Maerks Line. Port Klang dan PTP menambah kapasitas terminal dan membangun kawasan Industri untuk captive hinterlandnya.
Saat ini, throughput Port Klang terdiri atas 69% kargo transhipment dan 31% kargo gateway, sedangkan Pelabuhan Singapura memiliki porsi 85% kargo transhipment dan 15% kargo gateway.
PTP adalah pengecualian, karena sejak awal direncanakan sebagai pelabuhan transhipment murni, porsi kargo transhipment-nya mencapai 94%.
Dengan proyeksi pada tahun 2030 arus peti kemas yang melewati selat Malaka mencapai sebesar 100 juta TEU, masih adakah peluang bagi transhipment port baru seperti Kuala Tanjung atau Batam?. Apa strategi keduanya? Semoga kami dapat mengulasnya pada tulisan berikutnya. (edho/sumeks.co/marinettraffic.com/jurnal maritim.com)