Bagi perusahaan pelayaran, tawaran ini menarik karena memperbesar portofolio investasi, memiliki fleksibilitas dalam deployment armada, dan kendali pelayanan barang (bongkar muat dan penyimpanan). Perusahaan pelayaran umumnya memiliki kemampuan bongkar muat dan mengelola terminal.
Bahkan beberapa perusahaan pelayaran yang memiliki usaha terminal yang terpisah secara manajemen, walau dalam kepemilikan yang sama.
Sejak PTP beroperasi di tahun 1999 hingga 2002, dunia pelayaran telah menyaksikan persaingan keras PTP dan PS. Dalam kurun waktu dua tahun tersebut, PTP berhasil merebut dua pelanggan besar PS, yakni Maerks Line dan Evergreen.
Tawaran konsesi pengelolaan terminal dari PTP membuat keduanya akhirnya memindahkan pusat transhipmentnya dari PS ke PTP.
Shifted tersebut sempat membuat PSA (pengelola PS) limbung dan terpaksa melakukan upaya bertahan melalui pemangkasan tarif terminal serta -termasuk- akhirnya juga menerapkan dedicated berth. Mengubah perannya dari operating port menjadi hybrid operating port dan landlord.
Perang PS dan PTP juga memperlihatkan bahwa dalam persaingan memperebutkan kargo transhipment, pihak pelayaran memiliki daya tawar yang tinggi.
Pelabuhan Kuala Tanjung dibangun Pemerintah Indonesia melalui penugasan kepada Pelindo 1 (BUMN). Ambisinya, pada tahun 2042 total throughput mencapai 20 juta ton cargo liquid dan 6 juta TEU kontainer.
Kuala Tanjung juga juga berambisi menggeser peti kemas ekspor impor Indonesia yang selama ini melalui PS, PTP, dan Port Klang, yang bagi ketiganya dihitung sebagai kargo transhipment.
Dalam skenario pengembangan Kuala Tanjung yang diperoleh Jurnal Maritim, pelabuhan yang terletak di pesisir timur Simatera Utara tersebut akan menerapkan dedicated berth, menggandeng operator pelayaran besar dalam mengoperasikan terminal. Pelindo 1 juga disebut akan menggandeng Port of Rotterdam yang berpengalaman mengelola transhipment hub di Eropa utara.