oganilir.disway.id Urang rantau atau orang rantau, itulah kalimat paling tepat untuk menggambarkan orang orang dari suku Minang.
Suku Minang atau Minangkabau adalah suku asli di Pulau Sumatera dan secara dominan bermukim di wilayah Sumatera Barat dan sebagian di beberapa wilayah perbatasan Riau dan Jambi.
Saat musim lebaran tiba, adalah hari besar dan kebanggan bagi suku minang khususnya di perantauan, karena para perantau Minang akan berduyun duyun mudik ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran dan “menunjukkan’ kesuksesan mereka di negeri orang.
Tradisi merantau ini sebenarnya karena berkaitan dengan sistem matrilineal atau sistem garis ketururan ibu yang menjadi budaya khas suku Minang. Karena sistem matrilineal yang dijaga, maka anak laki laki dalam sebuah keluarga atau kaum tidak diberikan harta pusaka atau warisan.
BACA JUGA:Jawa Adalah Kunci, Bukan Pepesan Kosong
Karena hal tersebut, maka Laki-laki Minangkabau dianjurkan untuk merantau dan dalam sistem matrilineal, perempuan memiliki kedudukan yang istimewa dalam kaum, salah satunya berupa penguasaan harta pusaka.
Bagi laki-laki Minangkabau, sistem matrilineal menjadi pendorong untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.
Moctar Naim dalam buku Merantau, Pola Migrasi Suku Minang (1984) mencatat, perantau Minang bergerak dari pusat Minagkabau di Luhak Nan Tiga, yakni Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota ke sepanjang pesisir barat Sumatera dan pesisir timur. Adapula yang merantau hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia.
Ketika merantau masih dalam konteks mencari daerah koloni dan daerah dagang.
Gelombang merantau yang bersifat individu baru terjadi pada abad ke -19 dan 20 seiring berkembangnya daerah perkotaan di pesisir Sumatera.
BACA JUGA:Tanah Jajahan Series , Negeri Makmur Ladang Subur Kolonialisme
Saat itu Belanda yang menjajah Indonesia membangun jaringan jalan serta komunikasi yang memudahkan perantau Minang pergi merantau dari kampungnya ke Kota. Para perantau datang tidak hanya berdagang tetapi juga bersekolah.
Gerakan merantau maka makin masif sejak pengakuan RI dan kembalinya Ibukota dari Jogyakarta ke Jakarta tahun 1950.
Saat itu muncul kebutuhan Staf dan Pegawai untuk mengisi kementrian dan departemen, biro serta perkantoran pemerintah.
Orang orang Minang sejak abad ke 19 mengecap akses pendidikan terbaik di Nusantara seperti hal nya, orang Kato, Toba, Mandailing, Toraja dan Minahasa berbondong bondong datang ke Jakarta untuk mengisi posisi Birokrat, Ulama dan Guru.