Ternyata ini Sejarah dan Alasan Dibalik Dominasi Rasa Manis pada Makanan Yogyakarta dan Jawa Tengah

Ternyata ini Sejarah dan Alasan Dibalik Dominasi Rasa Manis pada Makanan Yogyakarta dan Jawa Tengah

makanan khas jogja dan jawa tengah--

oganilir.co - Gudeg yang legit, bacem yang meresap, hingga Selat Solo yang menyegarkan—satu benang merah yang mengikat banyak hidangan ikonik dari Jawa Tengah dan Yogyakarta adalah cita rasanya yang cenderung manis. Rasa manis ini begitu khas hingga menjadi identitas kuliner yang melekat erat dengan wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Mataram Islam tersebut.

Banyak yang mengira preferensi rasa manis ini adalah warisan kuno, namun ternyata jejak sejarahnya baru terbentuk beberapa abad lalu. Jawabannya terletak pada perpaduan kompleks antara paksaan ekonomi di era kolonial dan akulturasi budaya di lingkungan keraton.

1. Dampak Tanam Paksa Era Kolonial

Sejarah rasa manis ini berakar kuat pada masa kelam tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19. Untuk mendatangkan keuntungan bagi negerinya, gubernur jenderal Belanda saat itu memaksa sebagian besar lahan sawah di Jawa Tengah untuk ditanami tebu, komoditas ekspor yang sangat laku.

Akibatnya, produksi tanaman pangan seperti padi menurun drastis, dan masyarakat lokal menghadapi kelaparan. Untuk bertahan hidup, mereka terpaksa memanfaatkan satu-satunya hal yang melimpah di sekitar mereka: tebu. Air tebu yang manis kemudian digunakan sebagai bahan utama dalam masakan sehari-hari. Kebiasaan yang lahir dari keterpaksaan inilah yang secara perlahan membentuk lidah masyarakat Jawa Tengah menjadi akrab dan menyukai rasa manis.

BACA JUGA:Sejarah Teh Hitam, Bermanfaat Mengurangi Risiko Diabetes Tipe 2

BACA JUGA:Sejarah Penemuan Televisi dan Perkembangannya

2. Berlanjutnya Industri Gula dan Pengaruh Keraton

Setelah sistem tanam paksa dihapuskan, industri gula tidak berhenti. Pabrik-pabrik gula dan perkebunan tebu kemudian diambil alih oleh pihak swasta Belanda serta keraton-keraton Surakarta (Solo) dan Yogyakarta. Industri gula menjadi sumber kekayaan yang sangat besar bagi keraton. Bahkan, pejabat-pejabat kerajaan saat itu tidak lagi digaji dengan tanah lungguh, melainkan dengan uang hasil ekspor gula. Melimpahnya gula di lingkungan keraton semakin mengukuhkan penggunaan rasa manis dalam hidangan-hidangan istana.

3. Akulturasi Budaya dengan Eropa

Meskipun terjadi konflik, interaksi dan pertukaran budaya antara pihak keraton dan Belanda tidak terhindarkan. Pihak keraton yang sering menjamu tamu-tamu Eropa mulai tertarik dengan masakan mereka. Dari sinilah muncul hidangan-hidangan hasil akulturasi, salah satu yang paling terkenal adalah Selat Solo. Hidangan yang juga dikenal sebagai "bistik Jawa" ini adalah adaptasi dari steak Eropa yang disesuaikan dengan lidah lokal, menghasilkan perpaduan rasa manis, gurih, dengan sedikit sentuhan asam dari moster dan cuka.

BACA JUGA:Ada Baiknya Anda Mengetahui Sejarah Nama Bulan Masehi, Januari-Desember

BACA JUGA:5 Tempat Wisata Sarat Sejarah Yang Wajib Dikunjungi Saat Ke Palembang

Menariknya, sebelum era kolonial, rasa manis belum menjadi primadona dalam kuliner Jawa. Meskipun ajaran Hindu yang sempat berpengaruh di Jawa menyebut pentingnya keseimbangan enam rasa (termasuk manis), catatan kuno seperti pada relief Ramayana tidak menunjukkan popularitas rasa manis yang dominan seperti saat ini.

Jadi, rasa manis yang kita kenal pada masakan Jawa dan Yogyakarta saat ini adalah sebuah warisan sejarah yang unik—lahir dari penderitaan rakyat di bawah tanam paksa, diperkuat oleh kemakmuran keraton dari industri gula, dan disempurnakan oleh sentuhan akulturasi budaya dengan Eropa.

Sumber: