Kisah Guru-guru di Pedalaman Sumsel, Gaji Kecil Susuri Medan Berat Berlumpur Menuju ke Sekolah Tiap Hari

Kisah Guru-guru di Pedalaman Sumsel, Gaji Kecil Susuri Medan Berat Berlumpur Menuju ke Sekolah Tiap Hari

Tiga guru SDN Rantau Bayur susuri jalan berlumpur menuju sekolah. foto: dokumen/koransumeks/oganilir.co--

SUMSEL, OGANILIR.CO – Perjuangan guru memberikan ilmu kepada anak didik sepatutnya mendapat apresiasi yang layak. Terutama yang mengabdikan diri jauh di pelosok wilayah Sumsel. Hari Guru Nasional 2022 bisa jadi momentum memuliakan mereka.

Pemerintah daerah diharapkan bisa mengatasi berbagai persoalan yang guru hadapi. Juga meningkatkan kesejahteraan mereka. Mulai dari perjalanan ke sekolah pelosok yang begitu berat, masih banyaknya honorer bergaji minim, sekolah kekurangan guru, dan lain sebagainya.

Seperti kisah Tuti, guru SDN 70, Rantau Kumpai, Kecamatan Sosoh Buay Rayap, Kabupaten OKU. Masih berstatus honorer sejak mengabdi 14 Maret 2005 lalu. Tak pernah mengeluh menempuh 25 kilometer perjalanan dari Kota Baturaja ke sekolahnya.

“Sudah 17 tahun mengajar di sana, sebagai guru agama,” katnya.Pagi-pagi sekali dia sudah berangkat. Kadang naik angkutan umum. Kadang pula menumpang rekan kerja yang bawa sepeda motor. “Ngeri waktu harus lewat jembatan gantung yang panjang menuju sekolah,” tuturnya.

BACA JUGA:Muntari Sempat Membuka Asa Tuan Rumah, Namun Gol Bamba Dieng Pupuskan Harapan Qatar, The Maroon Masuk Kotak

Kondisi papan jembatan sudah renggang dan bagian samping kawat jembatan terbuka. Kalau tidak hati-hati melintas, rawan sepeda motor bisa slip dan terjun ke sungai. Karenanya ketika motor melintasi jembatan itu, Tuti memilih tutur dan berjalan kaki saja.

“Selama mengajar di SDN 70, maka selama itu pula saya melewati jembatan tersebut,” imbuhnya. Gahu Tuti sebagai guru honorer tak seberapa. Tidak lebih dari Rp500 ribu sebulan. Dia ikhlas dan bertahan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk keluarganya, dia menambah jam mengajar di sekolah lain.

“Saya juga mengajar di SD daerah Pasar Baturaja. Jadi 3 hari ke SDN 70 Rantau Kumpai, 3 hari ke SD dekat pasar. Cuma yang ini baru dua tahun terakhir,” bebernya. Walaupun di dua tempat, Tuti mengaku masih tetap bisa membagi waktu. “Karena guru mata pelajaran kan tidak setiap hari jamnya, jadi tidak mengganggu,” bebernya.

Cerita miris juga dirasakan para guru SDN 23 Rantau Bayur. Mereka harus menempuh jalan rusak berat dan berlumpur saat hujan sekitar satu kilometer ke sekolahnya. “Setiap hari para guru harus menempuh jalan yang rusak itu dengan berjalan kaki,” kata Ilin Sumantri, Kepala Desa Rantau Harapan.

BACA JUGA:Polres Musi Rawas Musnahkan 85 Gram Sabu di Polres Lubuklinggau, Kasus Andi Lala yang Ditangkap Tim Egle

 Tapi pihaknya belum dapat berbuat banyak untuk turut memperbaiki jalan. “Kami bangga dedikasi para guru begitu tinggi untuk mengajar anak-anak sekolah,” kata dia.

Di Kabupaten Muratara, cerita Koko Triantoro, guru garis depan juga tak kalah menyedihkan. Banyak sekolah lokal jauh di Muratara yang harus mendapat perhatian.

Sebagai contoh dia sempat mengajar di SD Napal Maling, Desa Noman, Kecamatan Rupit. “Waktu itu saya bertugas sejak 2016, masuk dalam pengangkatan GGD 2016 sebanyak 6.296 guru disebar di daerah Terluar, Terjauh dan Terpencil (3T) seluruh Indonesia,” bebernya.

Untuk menempuh sekolah itu, kata Koko, dia mengendarai sepeda motor, menembus semak belukar, menyambung perjalanan dengan perahu ketek selama dua jam dari Desa Noman. “Sepanjang perjalanan hanya ada hutan semak belukar dengan aliran sungai dipenuhi batu cadas,” tegasnya. Jika musim penghujan, aliran sungai meluap dan tak bisa melintas.

Sumber: